Jumat, 04 November 2011

Akankah Komunisme Modern Datang?


Karl Marx pernah bilang bahwa dunia akan menuju pada sistem negara komunis modern. Fase yang akan dilalui adalah: komunis tradisional – feodal – kapitalis – komunis modern. Sesuai dengan teori Marx itu bahwa dunia sekarang sedang pada masa fase kapitalis. Pertanyaannya apakah negara di dunia akan berubah menjadi komunis modern?
                Komunis yang dibicarakan di sini konteksnya bukanlah suatu golongan/sistem non agama atau sebagainya, walaupun Marx sendiri bilang bahwa agama adalah candu. Pengertian komunis ini adalah tentang tidak adanya kelas sosial di masyarakat. Jadi di sistem komunis semua rakyat setara, bahkan ada teori komunisme yang membatasi hak kepemilikan individual. Oleh karena itu komunis merupakan ideologi lawan dari kapitalis.
                Zaman sekarang ini kapitalis merupakan kiblat sebagian besar negara dunia, Indonesia termasuk di dalamnya. Orang intelektual bilang Indonesia menganut sistem ekonomi gotong-royong, bullshit!! Nyatanya di Indonesia Koperasi tidak berkembang. Rakyat Indonesia kelihatannya menyenangi hal yang berbau kapitalis. Entah itu efek dari arus informasi yang bebas seperti internet ataupun kebanggaan rakyat Indonesia untuk meniru style masyarakat negara lain. Yang pasti Indonesia benar-benar setuju akan masuknya globalisasi yang merupakan master key kapitalisme.
                Nah, now look around. Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin. Lihat pengangguran makin meningkat, jalanan ramai oleh gelandangan dan pengemis, krisis multidimensi. Modal awal Indonesia berupa SDA dikeruk oleh kapitalis nasional maupun asing. Apakah Pasal 33 ayat (3) UUD kenyataannya untuk menyejahterakan sebagian kapitalis saja. Prinsip predetermination benar-benar terlaksana. Kapitalis membutuhkan manusia lain untuk hidup lebih baik, memperbudak dari segala aspek. Bisa dikatakan pengrobanan manusia, semakin banyak manusia yang dikorbankan (buruh, kemiskinan dan sebagainya) semakin kuat keuntungan kapitalis.
                Kenapa di atas saya sebutkan manusia membutuhkan manusia lain untuk dikorbankan? Jawabannya uang. Kapitalisme mencari kekayaan,salah satunya uang, kekayaan dinominalkan dengan uang. Uang hanyalah sebuah kertas, besi, plastik atau apalah itu yang tidak berharga. Dimakan pun tak bisa. Uang baru berfungsi apabila digunakan untuk memperbudak manusia lain. Manusialah yang membuat uang itu berharga. Dan menurut saya uang adalah benda yang dibuat untuk memperbudak manusia lainnya.
                Status orang kaya dan miskin itu biasa dan normal terjadi. Di alam demokrasi itu kerja keras merupakan bentuk fair atas kesuksesan seseorang, tidak seperti feodal yang sukses karena keturunan. Yang menjadi konflik adalah seberapa besar tingkat kesenjangan di antara keduanya. Pada zaman Nabi Muhammad SAW juga ada si kaya dan si miskin, yang membedakannya dengan zaman sekarang adalah tingkat kepedulian antara golongan satu dengan yang lain. Di Islam ada ajaran shadaqah, zakat, wakaf dan infaq. Ajaran agama ini menurut saya sebagai penjaga kepedulian umat, khususnya kedua golongan di atas.
                Saya bukanlah orang yang anti kapitalisme, hanya saya merasa miris melihat keadaan sekitar. Saya seperti Marx yang benci pada keadaan. Mungkin Anda yang membaca punya perasaan yang sama. Kapitalis merupakan ideologi yang punya resiko besar juga. Lihat kasus anak yang ditabrak oleh mobil di China dimana kepedulian masyarakatnya sudah rendah, tidak ada yang menolong sampai ada pengemis yang berteriak-teriak agar masyarakat sekitar memberikan attention. Lihat bagaimana Amerika dengan kapitalismenya mulai collapse yang kemudian melirik sistem ekonomi Islam. Saya juga tidak menggembor-gemborkan ajaran Islam karena hanya ajaran itu sebagai agama pribadi yang saya ketahui.
                Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas saya yakin ada kesempatan teori komunisme modern akan datang. Teori yang sebenarnya tidak kita ketahui sistemnya, itulah kenapa disebut komunisme modern. Sistem yang merupakan perkembangan manusia dan hasil pembelajaran dari pengalaman sistem-sistem yang lampau. Komunisme modern yang berbeda dengan komunisme tradisional tentunya.
                Yusuf Aditya Wibowo

Rabu, 19 Oktober 2011

Keadaan & Perlindungan Hukum Penyu di Indonesia

Pertama-tama, perlu dibedakan pengertian kura-kura dengan penyu. Berikut adalah perbedaannya setelah saya telusuri dengan Google:

Perbedaan penyu dengan kura-kura
  • Penyu merupakan hewan laut, yang banyak menghabiskan masa hidupnya di air asin. Penyu pergi ke darat ketika dia ingin bertelur (yaitu tempat dimana dia dahulu menetas). Sedangkan kura-kura lebih banyak menghabiskan waktunya di air tawar atau daratan.
  • Penyu tidak memiliki kuku seperti kura-kura yang digunakan untuk membantunya makan dan berjalan di darat. Tangan dan kaki penyu merupakan sisik yang membatunya untuk berenang di lautan.
  • Penyu tidak dapat memasukan kepalanya kedalam tempurungya (untuk penyu biasanya digunakan istilah karapas), berbeda dengan kura-kura yang dapat memasukan kepalanya ke dalam tempurung yang berguna untuk melindunginya dari predator.

Selanjutnya, perburuan atau pemusnahan penyu di Indonesia dilatarbelakangi oleh motif yang berbeda-beda, ada motif ekonomi, budaya maupun murni pemusnahan hewan tersebut karena faktor tertentu yang merugikan manusia.
Motif ekonomi
Telur penyu merupakan benda ekonomi yang bernilai  karena dipercaya mempunyai khasiat tertentu yang berguna bagi tubuh manusia.
Sebagian besar telur penyu hijau dan penyu sisik hasil perburuan di pesisir barat laut Kalimantan Barat, tepatnya di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, dijual dan diselundupkan ke Serawak, Malaysia, melalui perlintasan tradisional di perbatasan darat.
Perburuan telur penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) hingga saat ini masih terus berlangsung, padahal penyu termasuk satwa yang terancam punah dan keberadaannya dilindungi undang-undang. ”Sebagian besar telur penyu itu dijual ke Malaysia. Hanya sedikit yang dijual ke wilayah kita, seperti di Tebas, Sambas, dan Pinyuh (Kabupaten Pontianak), karena takut dirazia. Tiap butir dijual sekitar Rp 1.500-Rp 2.000,” kata Turtle Monitoring Officer WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat Dwi Suprapti, Selasa (28/7).[1]
Daging penyu juga merupakan salah satu daging konsumsi bagi beberapa masyarakat Indonesia atau bahkan diekspor ke mancanegara.
Motif budaya
Beberapa masyarakat di Indonesia memiliki budaya mengkonsumsi telur penyu. Contohnya adalah praktek pemanfaatan telur penyu di Kabupaten Bintan, terutama di Kepulauan Tambelan. Pemanfaatan ini telah dilakukan sejak lama mulai dari zaman sebelum kemerdekaan, era pemerintahan datok sampai saat ini. Jenis telur penyu yang di manfaatkan adalah dari jenis penyu Hijau (Chelonia mydas) dan penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) penduduk Tambelan biasa menyebut penyu Hijau dengan sebutan Penyu Daging atau Penyu saja, sedangkan untuk penyu Sisik, mereka menyebutnya Sisik.
Sebenarnya motif ekonomi dan budaya bisa berjalan seiringan di beberapa daerah terkait kasus ini. Karena tuntutan budaya maka perkembangan motif secara ekonomi dapat berkembang pesat karena adanya prinsip penawaran dan permintaan.
Motif pemusnahan karena dirasa mengganggu kehidupan manusia
Motif ini lebih dilatarbelakangi pembantaian murni penyu untuk tidak lagi mengganggu sektor tertentu manusia. Contohnya adalah pembantaian penyu hijau di Bangka Selatan. Penyu tersebut memang sengaja dibunuh oleh nelayan karena dianggap mengganggu sero (alat tangkap ikan jenis perangkap yang memanfaatkan pasang surut air laut) milik nelayan. Terkadang ada sekitar tiga ekor penyu yang menyangkut di sero. Karena dianggap mengganggu dan dapat merusak sero, maka penyu tersebut dibunuh atau dibiarkan mati begitu saja. Nelayan di Desa Di Tanjung Labu adalah nelayan yang tidak memakan daging penyu, karenanya nelayan tidak pernah sengaja menangkap penyu dan mengambil dagingnya.[2] Penyu-penyu tersebut dibiarkan mati begitu saja.
Secara global, sebanyak ratusan ribu penyu tertangkap setiap tahunnya di mata kail dan jaring dari kegiatan penangkapan ikan. Sedangkan pantai peteluran juga mengalami tekanan sebagai dampak pembangunan industri yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, aktivitas manusia di pantai, serta pemanasan global. Kondisi ini semakin menurunkan populasi penyu laut di lingkungan asli mereka. Keunikannya tidak akan tampak lagi, saat banyak dari penduduk pantai merusak dan menjarah telur-telur meraka, membunuh induk-induk meraka dan merusak rumah-rumah mereka.

Analisa Dari Aspek Yuridis
Secara internasional penyu termasuk hewan yang terdaftar pada CITES dalam Appendiks I [3],sehingga penyu terlarang untuk segala pemanfaatan dan perdagangannya, diratifikasi dengan Keppres No. 43 Tahun 1978. CITES merupakan kerjasama antar negara anggota untuk menjamin perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan sejalan dengan perjanjian CITES. Ekspor, impor, reekspor, dan introduksi spesies yang terdaftar dalam apendiks CITES harus mendapat izin otoritas pengelola dan rekomendasi otoritas keilmuan CITES di negara tersebut. Spesies yang dimasukkan ke dalam kategori Appendiks I adalah spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal (diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa). Keadaan luar biasa yang dimaksud adalah demi kepentingan ilmiah dan pameran yang keduanya harus memiliki izin impor.
Secara nasional, organisme ini dilindungi seperti amanatkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, bahwa penyu hijau berikut bagian-bagiannya termasuk telurnya merupakan satwa yang dilindungi oleh Negara. Pelarangan ini diatur secara tegas pada Pasal 19, 21, dan 33 UU No. 5 Tahun 1990.

Pasal 21
(1)   Setiap orang dilarang untuk :
a.  mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b.  mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
(2)   Setiap orang dilarang untuk :
a.  menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.  menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c.  mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.  memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.  mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Apabila terdapat pengecualian yaitu diatur pada Pasal 22 ayat (1): “Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.”
Hanya saja ada sedikit ganjalan ketika saya menganalisa Pasal 22 ayat (3): “Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.” Saya bingung mengenai ukuran membahayakan manusia. Hal ini gampang apabila ditafsirkan dengan keadaan bahwa ada sekelompok harimau yang dilindungi undang-undang membantai desa (manusia). Tapi bagaimana tafsiran membahayakan manusia dari segi ekonomi seperti menyangkut pada jala nelayan? Itu juga merupakan faktor membahayakan manusia. Ini juga belum jelas ketika saya melihat Pasal 26 PP No. 7 Tahun 1999 tentang satwa yang membahayakan kehidupan manusia karena di sini fokusnya sebatas satwa yang keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia.
Dari segi ketentuan pidana diatur di undang-undang yang sama yaitu pada pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5).
Perlindungan untuk menjaga kelestarian penyu termasuk diatur pada PP No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Tujuan pengawetan diatur pada Pasal 2 sedangkan upaya pengawetan diatur pada Pasal 3. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan yang dilakukan secara in situ (Pasal 9) dan ex situ (Pasal 15). Pengawasan dan pengendalian dilakukan secara preventif dan represif yang diatur pada Pasal 27.

Yusuf Aditya Wibowo



[1] http://save-sea-turtles.blogspot.com/2009/08/penyu-antara-pelestarian-dan-desakan.html. Diakses pada Selasa 18 Oktober 2011
[2] http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Ladang+Pembantaian+Penyu+Hijau+di+Bangka+Selatan&&nomorurut_artikel=356. Diakses pada Selasa 18 Oktober 2011
 [3] http://id.wikipedia.org/wiki/CITES. Diakses pada Selasa 18 Oktober 2011

UU Intelijen ala Indonesia


                Buat saya pribadi, RUU Intelijen yang kabarnya sudah disahkan oleh DPR menjadi UU patut diapresiasi. Dari sudut pandang positif, langkah ini merupakan permulaan yang bagus untuk menjaga keutuhan NKRI dari politik global. Mungkin Indonesia ingin meniru lembaga intelijen negara-negara maju dengan tingkat pertahanan keamanan tinggi seperti CIA (Amerika Serikat), lembaga intelijen asing tersebut bergerak lintas negara demi menjaga/melaksanakan kepentingan negaranya. Saya tidak apatis namun rasionalis, selalu mendukung kebijakan pemerintah yang “benar-benar” dialokasikan untuk kepentingan bangsa.
                Hanya saja ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran saya. Pertama, garis besar pengaturan UU Intelijen mengatur Badan Intelijen Negara, kenapa tidak memakai nama UU BIN? Sebab intelijen di Indonesia tidak sebatas BIN saja, melainkan ada intelijen dari Polri, militer dan lainnya.Walaupun disebutkan pada Pasal 4 ayat (2) bahwa ada badan intelijen departemental bukankah seharusnya pengaturannya dipisahkan untuk menghindari kerancuan mengingat produk ini berupa undang-undang. Kesalahan konsep ataukah ada muatan politis dari rancangan/draft akademik UU ini?
                Kedua, masih berkaitan dengan yang pertama, kinerja BIN bisa dibilang sangat tertutup. Dengan memberikan kewenangan yang dikuatkan dengan UU bukankah memberikan peluang khususnya bagi penguasa (pemerintah) sesuai Pasal 5 ayat (2) bahwa BIN kedudukannya berada di bawah dan bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. Apalagi melihat pasal-pasalnya yang saya kira masih bisa dimultitafsir. Hal ini sangat rawan sekali apabila dikaitkan dengan kepentingan eksekutif. Semoga dapat diimbangi dengan fungsi pengawasan DPR dimana di UU ini dituangkan pada Pasal 38 untuk dapat melakukan kontrol terhadap penyelenggara intelijen negara.
                Terkait isu pengekangan demokrasi dengan disahkannya RUU Intelijen, saya rasa realisasi UU tersebut dapat dikontrol dengan mempertimbangkan khususnya pasal 28 UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia terkait asas Lex Superior Derogat Legi Inferior. Lebih lanjut lagi UU Intelijen juga harus mempertimbangkan produk hukum dengan kedudukan sejajar seperti UU ITE, UU HAM, dan sebagainya. UU ini juga bisa diajukan judicial review ke MK. Hanya saja menurut saya bukan terbatas UU dan perdebatan panjang ini yang diutamakan, namun juga semangat nasionalisme dan moral dari lembaga yang menjalankan roda pemerintahan negeri ini. Bahkan peraturan hukum yang buruk sekalipun bisa menghasilkan kondisi bangsa-negara yang baik apabila masyarakat, infrastruktur, pemerintah/aparat penegak hukum dan budaya hukumnya berkualitas.

Yusuf Aditya Wibowo
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM
Angkatan 2009
               

Rabu, 28 September 2011

Kebijakan Yang Tidak Sempurna


                Pada hari-hari pertama saya masuk kuliah semester V ini parkiran motor roda dua di dalam kampus sangat padat sekali. Kata teman hal itu wajar saja karena ada maba (mahasiswa angkatan 2011/2012) yang masuk, sedangkan wisuda kemarin tidak semua mahasiswa Fakultas Hukum UGM angkatan senior lulus. Saya bingung, mahasiswa baru yang masuk memang boleh bawa motor?
                Menurut SK Rektor, Mahasiswa UGM angkatan 2011/2012 dilarang membawa kendaraan bermotor memasuki wilayah fakultas. Jangankan memasuki, parkir pun tidak boleh ya. Mahasiswa angkatan 2011/2012 yang terpaksanya membawa kendaraan bermotor dapat memparkirkannya di kantong-kantong parkir yang telah disediakan oleh universitas. Contohnya adalah kantong parkir di lembah UGM yang terletak di timur Fakultas Hukum UGM. Mahasiswa juga dapat meminjam sepeda kampus apabila fakultas/tempat yang dituju dirasa jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki, walaupun efektivitas sepeda kampus sebatas antar stasiun sepeda saja.
                Saya sempat menepis prasangka buruk bahwa mahasiswa baru membawa motor ke kampus karena memang banyak juga maba yang jalan kaki dari lembah ke fakultas, logikanya mereka mengendarai kendaraan bermotor dan menitipkannya di kantong parkir. Tapi pagi hari ini (28/9/’11) saya menemukan maba di fakultas saya sendiri yang mengendarai kendaraan bermotor roda dua dan memarkirkannya di dalam kampus. Saya tidak tahu alasannya tetapi bukankah ada larangannya? Saya juga sempat membaca secarik kertas pemberitahuan sifatnya perjanjian sepihak dari universitas yang dibagikan kepada maba pada saat technical meeting PPSMB 2011 FH UGM yang isinya tentu saja berkaitan dengan larangan di atas. Kejadian ini tidak hanya terjadi di FH UGM. Saya ke FTP dan FKT UGM siangnya, beberapa maba kedua fakultas tersebut membenarkannya ketika sempat saya tanyakan hal itu.
                Kebijakan pelarangan sepeda motor untuk maba tidak dapat “benar-benar” terealisasi oleh bebagai faktor. Salah satu faktornya adalah KIK di Jl. Sosio Yustisia tidak dikenai pembayaran. Mahasiswa baru memang tidak mendapatkan KIK, mereka memasuki wilayah Jl. Sosio Yustisia sebagai pengendara non KIK yang mengambil karcis di penjaga seperti layaknya masyarakat umum. Bukankah ini menggelikan sekali? Jadi apa hal yang benar-benar dapat memaksakan maba untuk tidak membawa kendaraan bermotor seperti menjadi anomali saja. Apa tidak terpikir sampai sejauh itu? Atau untuk percobaan saja sambil menunggu pembangunan kantong parkir yang memadai?
                Faktor yang lain diluar unsur ketidakpatuhan mahasiswa adalah unsur fasilitas penunjang dari kampus seperti sepeda biru. Sepeda biru di UGM ditempatkan di 7 stasiun sepeda biru. Sepeda ini dapat dipinjam oleh mahasiswa dengan syarat batasan waktu 30 menit dan jalur sebatas antar stasiun saja. Sepeda biru tidak diperbolehkan untuk dibawa ke kampus. Saya kira logikanya jalan juga. Mungkin hal ini dikarenakan jumlah sepeda biru UGM totalnya tidak dapat mengimbangi jumlah total mahasiswa UGM. Dengan pengetatan syarat pemakaian maka pemakai sepeda biru akan terpangkas sebatas mahasiswa yang benar-benar “niat” saja memakai sepeda ini. Bagi teman saya di FKT UGM sepeda biru merupakan barang useless, tidak ada stasiun sepeda biru dekat FKT UGM. Menurutnya seperti ada barang yang ribet banget untuk dipakai saja. Yah, opini mahasiswa beragam dan saya juga menghargai yang satu ini.
                Di sisi lain UGM melalui PPKB UGM mengeluarkan program Duta Sepeda Kampus UGM. Sudah terpilih satu duta universitas dan 64 duta fakultas. Kembali hal yang menggelikan terjadi? Ketika saya berbincang-bincang dengan salah satu peserta duta untuk fakultas tertentu ada satu hal unik yang saya temukan. Para duta hanya diberi pin yang berjumlah tiga buah untuk duta universitas dan satu buah untuk duta fakultas. Pin itu dapat ditukarkan dengan kaos Dag*du dengan harga tertentu. Jujur ini berbeda dengan yang saya bayangkan sebelumnya, saya kira duta sepeda bakal diberi fasilitas tertentu seperti peminjaman sepeda biru khusus bagi mereka yang dapat dibawa sampai ke kampus. Nah sampai saya menulis ini belum juga tuh “benda sepeda” dikasih sama mereka. Kasihan juga yah para “maskot” dengan tidak bermodalkan barang yang sebenarnya harus mereka sosialisasikan.
                Sekali lagi terlepas dari pandangan pesimis atau negatif, saya selalu mendukung UGM untuk menjadi universitas educopolis. Saya mendukung tujuannya loh, bukan berarti selalu mendukung kebijakannya. Saya juga mendukung bagi para maba 2011 untuk mengurangi pemakaian kendaraan bermotor. Yah generasi baru mulai belajarlah berkorban diri untuk perubahan. Bukankah ada istilah mahasiswa adalah agent of change? Besok juga bakalan ada temannya (angkatan 2012,2013 and so on). Kalau rencana educopolis yang diusung ini benar-benar jadi kan tempat belajar juga jadi nyaman, seperti kampus-kampus elit luar negeri. Bayangkan di kampus suasana asri kayak di film “The Oxford Murderer”. Lembah juga bisa jadi tempat belajar asik, tuh danau buatan bisa aja bakalan jadi kolam renang gratis bagi mahasiswa hahaha... :)

Yusuf Aditya Wibowo 

Rabu, 21 September 2011

Tren Unik Jilbab Seksi


Rabu, 21 September 2011
                Hari ini daftar kelas yang harus dijalani sebatas sampai jam 15.00WIB. Karena tidak ada keperluan lain, saya bergegas pulang untuk mengajari matematika adik saya yang bloon. Sudah sejak seminggu kemarin rutinitas mengajar itu saya lakoni. Dan kelihatannya saya bakal menderita hipertensi beberapa waktu kedepan gara-gara otak adik saya yang super lemot.
                Sepanjang perjalanan pulang dari kampus saya menyempatkan tengok kanan-kiri. Tidak di jalan, di halte bus, bahkan di warung masakan padang tempat saya singgah sebentar untuk mengisi perut kelihatannya model celana jins ketat makin digandrungi pemudi muslim sekarang. Hanya saja yang mengganggu pandangan saya, kenapa mereka kolaborasikan dengan jilbab? Kok tidak pakai tank top sekalian.
                Sebenarnya di kampus tadi pun ada juga mahasiswi yang style nya sama, cuman lebih kelihatannya borjuis saja pemilihan pakaiannya. Yah maklum saja Fakultas Hukum UGM agaknya dipenuhi oleh kalangan mahasiswa-siswi ekonomi kelas menengah ke atas. Mahasiswa dengan kelas ekonomi bawah seperti saya cuman bisa sebagai pengamat saja. Kalau ada mahasiswi tampil "wah" saya juga turut senang dan memperhatikan, lumayan buat cuci mata sembari memikirkan materi kuliah. Apalagi kalau celana jins diganti dengan kombinasi legging dan kaos ketat, rasa kantuk berat bisa tiba-tiba hilang.
                Bukan hanya saya saja yang berkomentar perihal  fenomena ini. Satu di antara individu yang sepaham yaitu Ustadz Iip Wijayanto, salah satu tokoh inspiratif bagi saya. Beliau dengan terang-terangan mengkritik tren eksis muslimah muda di atas. Yang saya dengar di radio beliau mengkritik salah satu universitas swasta di Yogyakarta yang menggunakan label universitas berbasis Islam terkait style mahasiswinya yang dia rasa jilbab tampil hot. Saya sempat terbahak-bahak mendengarnya karena beberapa rekan seperjuangan membolos sewaktu Sekolah Menengah Atas ada yang melanjutkan studi di universitas itu. Tapi menurut saya Ustadz Iip mengkritisasi tren itu secara global, memperingatkan kepada seluruh muslimah di Indonesia. Buktinya dia mau mengeluarkan statement tegas di radio yang konteksnya umum didengar khalayak Yogya. Dan perihal menggunakan contoh universitas tersebut saya kira hanya sebagai penggugah agar aspirasi sang ustadz dapat lebih masuk ke renungan para pendengar.
                Walaupun kadang saya “suka” dengan mode itu tapi ada sesuatu yang mengganjal di hati ini. Sepertinya agama saya kok dilecehkan, kalau mau berbusana minimalis dan memperlihatkan lekuk tubuh tersebut sebaiknya segera menanggalkan jilbabnya saja. Jilbab bagi saya adalah simbol kesucian seorang muslimah untuk salah satunya secara tegas menutupi aurat tubuhnya dan menjauhkan diri dari perzinahan segala bentuk dan rupa. Kalau memakai jilbab ya berbusana seharusnya muslimah berjilbab, seperti para muslimah berjilbab di film/sinetron Ketika Cinta Bertasbih, jilbabnya panjang dan lebar disertai busana yang tidak “sempit”. Aura kecantikannya tetap terpancar, subhanallah. Berbeda sekali dengan beberapa muslimah bertren unik di atas yang memakai jilbab dengan busana ketat. Parah lagi bila pada posisi duduk kelihatan bagian belakang yang mohon maaf seperti celengan itu, bikin gak konsentrasi saja laki-laki yang duduk di belakangnya. Walaupun alasannya bahwa memang anggota tubuh tertutupi dalam posisi berdiri, tapi kalau memperlihatkan lekuk tubuh dan mengundang hawa nafsu ya sama saja bohong.
                Kata “munafik” mungkin terlalu kejam untuk diutarakan di tulisan ringan seperti ini. Tetapi saya yakin hampir semua manusia memiliki kemunafikan masing-masing termasuk saya. Saya bukanlah orang yang alim maupun orang berilmu keagamaan tinggi. Saya tidak luput dari godaan hawa nafsu. Saya tidak melarang bagi beberapa muslimah di atas untuk meninggalkan tren mereka. Di sini saya cuman ingin memberikan pesan kepada para muslimah yang berjilbab untuk benar-benar berkomitmen pada langkah mereka itu, sesuai dengan ajaran agama Islam. Saya akan lebih menghormati pada muslimah yang mampu menempatkan diri mereka sesuai dengan kapasitas dan ajaran agamanya. Semoga tulisan ini dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca, apabila ada hal yang kurang berkesan saya mohon maaf.

Yusuf Aditya Wibowo

Selasa, 02 Agustus 2011

Memimpikan Partai Oposisi

                Di dunia ini ada yang namanya ying dan yang, ada hitam ada putih. Setiap pasang elemen tersebut walau saling kontradiksi satu sama lain tapi selalu berdampingan adanya.
                Lalu bagaimana dengan kepartaian di Indonesia? Apakah ada yang menjadi ying dan yang? Atau lebih tepatnya apakah ada partai oposisi di Indonesia?
                Kalau kita melihat arah partai-partai Indonesia sekarang adalah saling cooperatif atau saling berkoalisi. Partai-partai yang mempunyai pendukung relatif kecil akan berkoalisi dengan partai lainnya untuk mendapatkan suara yang lebih banyak. Bukan merger, tapi koalisi.
                Seperti yang kita tahu Indonesia menganut sistem Presidensiil, fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden. Presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat karena secara harfiah Presiden dipilih oleh rakyat Indonesia bukan partai. Hanya saja untuk menduduki kursi kepresidenan seorang calon Presiden/Wakil Presiden perlu mengendarai kendaraan yang disebut dengan partai politik. Untuk memenangi pilihan Presiden, pasangan calon (Presiden & Wapres) mengalami langkah yang sangat berat sesuai dengan ketentuan Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008.

Pasal 159
(1)  Pasangan  Calon  terpilih  adalah  Pasangan  Calon  yang  memperoleh  suara  lebih  dari  50%  (lima  puluh  persen)  dari jumlah  suara  dalam  Pemilu  Presiden  dan  Wakil  Presiden dengan  sedikitnya  20%  (dua  puluh  persen)  suara  di  setiap  provinsi  yang  tersebar  di  lebih  dari  ½  (setengah)  jumlah  provinsi di Indonesia.

                Kita tahu bahwa Indonesia menganut sistem multipartai. Dengan banyaknya partai dan calon yang diusung maka jumlah suara di Indonesia terbagi menjadi bagian-bagian kecil. Ukuran yang digunakan dalam ketentuan di atas hitungannya sangat besar untuk dapat dicapai oleh hanya satu partai di Indonesia dengan keadaannya yang seperti sekarang. Oleh karena itu partai-partai skala besar pun tetap berusaha membina koalisi dengan partai-partai lain. Dengan koalisi jumlah suara sesuai dengan ketentuan Pasal 159 dapat dipenuhi.
                Dampak negatif dari sistem ini, secara non official berkembang teori balas budi. Setelah dilantik, Presiden menyusun kabinet kerja, yaitu menteri-menteri dijabat kaum profesional di bidangnya. Pemilihan person yang menjabat dalam kabinet kerja disusun oleh Presiden secara subyektif. Pengangkatan menteri diambil dari partai-partai pendukung koalisi. Hal ini membuktikan Presiden untuk menaruh jabatan-jabatan itu kepada orang-orang yang mendukungnya. Bukankah ini memberi kesempatan Presiden untuk melakukan balas budi?
                Di sisi lain dengan sistem multipartai Indonesia yang bisa dibilang berjumlah partai “parah” disertai sistem koalisi maka tidak jelaslah letak partai oposisi di jalannya roda pemerintahan NKRI. Kalaupun ada beberapa partai yang bersikap selaku partai oposisi maka hasilnya tetap tidak se-efisiensi pada pemerintahan sistem Presidensiil di negara lain (contoh Amerika Serikat). Mungkin ini yang dinamakan kesalahan sistem, atau anomali?
                Kesimpulannya menurut saya dengan banyaknya partai dan sistem yang berlaku sekarang tidak menjamin langkah demokrasi kita lebih baik. Dengan partai yang bejibun seperti sekarang selain memecah konsentrasi suara juga akan menyerap banyak anggaran. Partai membutuhkan banyak anggaran dans ecara tidak langsung akan mempengaruhi biaya pemilu juga (contoh banyak calon anggota legislatif = banyaknya/besarnya kertas suara yang dibutuhkan = membesarnya anggaran). Oleh karena itu saya pribadi setuju dengan UU No. 3 Tahun 1975 yang memerintahkan untuk melakukan Fusi Partai Politik. Saya rasa dengan fusi parpol selain akan menghemat anggaran partai juga memudahkan rakyat Indonesia untuk mengenal para calon dengan baik. Tidak seperti sekarang, bahkan jujur saja saya masih bingung ketika disuruh untuk memilih Presiden & Wapres juga calon anggota DPR/DPD, kertasnya gede & penuh cuiiiii......

Yusuf Aditya WIbowo