Selasa, 02 Agustus 2011

Memimpikan Partai Oposisi

                Di dunia ini ada yang namanya ying dan yang, ada hitam ada putih. Setiap pasang elemen tersebut walau saling kontradiksi satu sama lain tapi selalu berdampingan adanya.
                Lalu bagaimana dengan kepartaian di Indonesia? Apakah ada yang menjadi ying dan yang? Atau lebih tepatnya apakah ada partai oposisi di Indonesia?
                Kalau kita melihat arah partai-partai Indonesia sekarang adalah saling cooperatif atau saling berkoalisi. Partai-partai yang mempunyai pendukung relatif kecil akan berkoalisi dengan partai lainnya untuk mendapatkan suara yang lebih banyak. Bukan merger, tapi koalisi.
                Seperti yang kita tahu Indonesia menganut sistem Presidensiil, fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden. Presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat karena secara harfiah Presiden dipilih oleh rakyat Indonesia bukan partai. Hanya saja untuk menduduki kursi kepresidenan seorang calon Presiden/Wakil Presiden perlu mengendarai kendaraan yang disebut dengan partai politik. Untuk memenangi pilihan Presiden, pasangan calon (Presiden & Wapres) mengalami langkah yang sangat berat sesuai dengan ketentuan Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008.

Pasal 159
(1)  Pasangan  Calon  terpilih  adalah  Pasangan  Calon  yang  memperoleh  suara  lebih  dari  50%  (lima  puluh  persen)  dari jumlah  suara  dalam  Pemilu  Presiden  dan  Wakil  Presiden dengan  sedikitnya  20%  (dua  puluh  persen)  suara  di  setiap  provinsi  yang  tersebar  di  lebih  dari  ½  (setengah)  jumlah  provinsi di Indonesia.

                Kita tahu bahwa Indonesia menganut sistem multipartai. Dengan banyaknya partai dan calon yang diusung maka jumlah suara di Indonesia terbagi menjadi bagian-bagian kecil. Ukuran yang digunakan dalam ketentuan di atas hitungannya sangat besar untuk dapat dicapai oleh hanya satu partai di Indonesia dengan keadaannya yang seperti sekarang. Oleh karena itu partai-partai skala besar pun tetap berusaha membina koalisi dengan partai-partai lain. Dengan koalisi jumlah suara sesuai dengan ketentuan Pasal 159 dapat dipenuhi.
                Dampak negatif dari sistem ini, secara non official berkembang teori balas budi. Setelah dilantik, Presiden menyusun kabinet kerja, yaitu menteri-menteri dijabat kaum profesional di bidangnya. Pemilihan person yang menjabat dalam kabinet kerja disusun oleh Presiden secara subyektif. Pengangkatan menteri diambil dari partai-partai pendukung koalisi. Hal ini membuktikan Presiden untuk menaruh jabatan-jabatan itu kepada orang-orang yang mendukungnya. Bukankah ini memberi kesempatan Presiden untuk melakukan balas budi?
                Di sisi lain dengan sistem multipartai Indonesia yang bisa dibilang berjumlah partai “parah” disertai sistem koalisi maka tidak jelaslah letak partai oposisi di jalannya roda pemerintahan NKRI. Kalaupun ada beberapa partai yang bersikap selaku partai oposisi maka hasilnya tetap tidak se-efisiensi pada pemerintahan sistem Presidensiil di negara lain (contoh Amerika Serikat). Mungkin ini yang dinamakan kesalahan sistem, atau anomali?
                Kesimpulannya menurut saya dengan banyaknya partai dan sistem yang berlaku sekarang tidak menjamin langkah demokrasi kita lebih baik. Dengan partai yang bejibun seperti sekarang selain memecah konsentrasi suara juga akan menyerap banyak anggaran. Partai membutuhkan banyak anggaran dans ecara tidak langsung akan mempengaruhi biaya pemilu juga (contoh banyak calon anggota legislatif = banyaknya/besarnya kertas suara yang dibutuhkan = membesarnya anggaran). Oleh karena itu saya pribadi setuju dengan UU No. 3 Tahun 1975 yang memerintahkan untuk melakukan Fusi Partai Politik. Saya rasa dengan fusi parpol selain akan menghemat anggaran partai juga memudahkan rakyat Indonesia untuk mengenal para calon dengan baik. Tidak seperti sekarang, bahkan jujur saja saya masih bingung ketika disuruh untuk memilih Presiden & Wapres juga calon anggota DPR/DPD, kertasnya gede & penuh cuiiiii......

Yusuf Aditya WIbowo