Rabu, 19 Oktober 2011

Keadaan & Perlindungan Hukum Penyu di Indonesia

Pertama-tama, perlu dibedakan pengertian kura-kura dengan penyu. Berikut adalah perbedaannya setelah saya telusuri dengan Google:

Perbedaan penyu dengan kura-kura
  • Penyu merupakan hewan laut, yang banyak menghabiskan masa hidupnya di air asin. Penyu pergi ke darat ketika dia ingin bertelur (yaitu tempat dimana dia dahulu menetas). Sedangkan kura-kura lebih banyak menghabiskan waktunya di air tawar atau daratan.
  • Penyu tidak memiliki kuku seperti kura-kura yang digunakan untuk membantunya makan dan berjalan di darat. Tangan dan kaki penyu merupakan sisik yang membatunya untuk berenang di lautan.
  • Penyu tidak dapat memasukan kepalanya kedalam tempurungya (untuk penyu biasanya digunakan istilah karapas), berbeda dengan kura-kura yang dapat memasukan kepalanya ke dalam tempurung yang berguna untuk melindunginya dari predator.

Selanjutnya, perburuan atau pemusnahan penyu di Indonesia dilatarbelakangi oleh motif yang berbeda-beda, ada motif ekonomi, budaya maupun murni pemusnahan hewan tersebut karena faktor tertentu yang merugikan manusia.
Motif ekonomi
Telur penyu merupakan benda ekonomi yang bernilai  karena dipercaya mempunyai khasiat tertentu yang berguna bagi tubuh manusia.
Sebagian besar telur penyu hijau dan penyu sisik hasil perburuan di pesisir barat laut Kalimantan Barat, tepatnya di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, dijual dan diselundupkan ke Serawak, Malaysia, melalui perlintasan tradisional di perbatasan darat.
Perburuan telur penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) hingga saat ini masih terus berlangsung, padahal penyu termasuk satwa yang terancam punah dan keberadaannya dilindungi undang-undang. ”Sebagian besar telur penyu itu dijual ke Malaysia. Hanya sedikit yang dijual ke wilayah kita, seperti di Tebas, Sambas, dan Pinyuh (Kabupaten Pontianak), karena takut dirazia. Tiap butir dijual sekitar Rp 1.500-Rp 2.000,” kata Turtle Monitoring Officer WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat Dwi Suprapti, Selasa (28/7).[1]
Daging penyu juga merupakan salah satu daging konsumsi bagi beberapa masyarakat Indonesia atau bahkan diekspor ke mancanegara.
Motif budaya
Beberapa masyarakat di Indonesia memiliki budaya mengkonsumsi telur penyu. Contohnya adalah praktek pemanfaatan telur penyu di Kabupaten Bintan, terutama di Kepulauan Tambelan. Pemanfaatan ini telah dilakukan sejak lama mulai dari zaman sebelum kemerdekaan, era pemerintahan datok sampai saat ini. Jenis telur penyu yang di manfaatkan adalah dari jenis penyu Hijau (Chelonia mydas) dan penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) penduduk Tambelan biasa menyebut penyu Hijau dengan sebutan Penyu Daging atau Penyu saja, sedangkan untuk penyu Sisik, mereka menyebutnya Sisik.
Sebenarnya motif ekonomi dan budaya bisa berjalan seiringan di beberapa daerah terkait kasus ini. Karena tuntutan budaya maka perkembangan motif secara ekonomi dapat berkembang pesat karena adanya prinsip penawaran dan permintaan.
Motif pemusnahan karena dirasa mengganggu kehidupan manusia
Motif ini lebih dilatarbelakangi pembantaian murni penyu untuk tidak lagi mengganggu sektor tertentu manusia. Contohnya adalah pembantaian penyu hijau di Bangka Selatan. Penyu tersebut memang sengaja dibunuh oleh nelayan karena dianggap mengganggu sero (alat tangkap ikan jenis perangkap yang memanfaatkan pasang surut air laut) milik nelayan. Terkadang ada sekitar tiga ekor penyu yang menyangkut di sero. Karena dianggap mengganggu dan dapat merusak sero, maka penyu tersebut dibunuh atau dibiarkan mati begitu saja. Nelayan di Desa Di Tanjung Labu adalah nelayan yang tidak memakan daging penyu, karenanya nelayan tidak pernah sengaja menangkap penyu dan mengambil dagingnya.[2] Penyu-penyu tersebut dibiarkan mati begitu saja.
Secara global, sebanyak ratusan ribu penyu tertangkap setiap tahunnya di mata kail dan jaring dari kegiatan penangkapan ikan. Sedangkan pantai peteluran juga mengalami tekanan sebagai dampak pembangunan industri yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, aktivitas manusia di pantai, serta pemanasan global. Kondisi ini semakin menurunkan populasi penyu laut di lingkungan asli mereka. Keunikannya tidak akan tampak lagi, saat banyak dari penduduk pantai merusak dan menjarah telur-telur meraka, membunuh induk-induk meraka dan merusak rumah-rumah mereka.

Analisa Dari Aspek Yuridis
Secara internasional penyu termasuk hewan yang terdaftar pada CITES dalam Appendiks I [3],sehingga penyu terlarang untuk segala pemanfaatan dan perdagangannya, diratifikasi dengan Keppres No. 43 Tahun 1978. CITES merupakan kerjasama antar negara anggota untuk menjamin perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan sejalan dengan perjanjian CITES. Ekspor, impor, reekspor, dan introduksi spesies yang terdaftar dalam apendiks CITES harus mendapat izin otoritas pengelola dan rekomendasi otoritas keilmuan CITES di negara tersebut. Spesies yang dimasukkan ke dalam kategori Appendiks I adalah spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal (diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa). Keadaan luar biasa yang dimaksud adalah demi kepentingan ilmiah dan pameran yang keduanya harus memiliki izin impor.
Secara nasional, organisme ini dilindungi seperti amanatkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, bahwa penyu hijau berikut bagian-bagiannya termasuk telurnya merupakan satwa yang dilindungi oleh Negara. Pelarangan ini diatur secara tegas pada Pasal 19, 21, dan 33 UU No. 5 Tahun 1990.

Pasal 21
(1)   Setiap orang dilarang untuk :
a.  mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b.  mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
(2)   Setiap orang dilarang untuk :
a.  menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.  menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c.  mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.  memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.  mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Apabila terdapat pengecualian yaitu diatur pada Pasal 22 ayat (1): “Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.”
Hanya saja ada sedikit ganjalan ketika saya menganalisa Pasal 22 ayat (3): “Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.” Saya bingung mengenai ukuran membahayakan manusia. Hal ini gampang apabila ditafsirkan dengan keadaan bahwa ada sekelompok harimau yang dilindungi undang-undang membantai desa (manusia). Tapi bagaimana tafsiran membahayakan manusia dari segi ekonomi seperti menyangkut pada jala nelayan? Itu juga merupakan faktor membahayakan manusia. Ini juga belum jelas ketika saya melihat Pasal 26 PP No. 7 Tahun 1999 tentang satwa yang membahayakan kehidupan manusia karena di sini fokusnya sebatas satwa yang keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia.
Dari segi ketentuan pidana diatur di undang-undang yang sama yaitu pada pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5).
Perlindungan untuk menjaga kelestarian penyu termasuk diatur pada PP No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Tujuan pengawetan diatur pada Pasal 2 sedangkan upaya pengawetan diatur pada Pasal 3. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan yang dilakukan secara in situ (Pasal 9) dan ex situ (Pasal 15). Pengawasan dan pengendalian dilakukan secara preventif dan represif yang diatur pada Pasal 27.

Yusuf Aditya Wibowo



[1] http://save-sea-turtles.blogspot.com/2009/08/penyu-antara-pelestarian-dan-desakan.html. Diakses pada Selasa 18 Oktober 2011
[2] http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Ladang+Pembantaian+Penyu+Hijau+di+Bangka+Selatan&&nomorurut_artikel=356. Diakses pada Selasa 18 Oktober 2011
 [3] http://id.wikipedia.org/wiki/CITES. Diakses pada Selasa 18 Oktober 2011

UU Intelijen ala Indonesia


                Buat saya pribadi, RUU Intelijen yang kabarnya sudah disahkan oleh DPR menjadi UU patut diapresiasi. Dari sudut pandang positif, langkah ini merupakan permulaan yang bagus untuk menjaga keutuhan NKRI dari politik global. Mungkin Indonesia ingin meniru lembaga intelijen negara-negara maju dengan tingkat pertahanan keamanan tinggi seperti CIA (Amerika Serikat), lembaga intelijen asing tersebut bergerak lintas negara demi menjaga/melaksanakan kepentingan negaranya. Saya tidak apatis namun rasionalis, selalu mendukung kebijakan pemerintah yang “benar-benar” dialokasikan untuk kepentingan bangsa.
                Hanya saja ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran saya. Pertama, garis besar pengaturan UU Intelijen mengatur Badan Intelijen Negara, kenapa tidak memakai nama UU BIN? Sebab intelijen di Indonesia tidak sebatas BIN saja, melainkan ada intelijen dari Polri, militer dan lainnya.Walaupun disebutkan pada Pasal 4 ayat (2) bahwa ada badan intelijen departemental bukankah seharusnya pengaturannya dipisahkan untuk menghindari kerancuan mengingat produk ini berupa undang-undang. Kesalahan konsep ataukah ada muatan politis dari rancangan/draft akademik UU ini?
                Kedua, masih berkaitan dengan yang pertama, kinerja BIN bisa dibilang sangat tertutup. Dengan memberikan kewenangan yang dikuatkan dengan UU bukankah memberikan peluang khususnya bagi penguasa (pemerintah) sesuai Pasal 5 ayat (2) bahwa BIN kedudukannya berada di bawah dan bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. Apalagi melihat pasal-pasalnya yang saya kira masih bisa dimultitafsir. Hal ini sangat rawan sekali apabila dikaitkan dengan kepentingan eksekutif. Semoga dapat diimbangi dengan fungsi pengawasan DPR dimana di UU ini dituangkan pada Pasal 38 untuk dapat melakukan kontrol terhadap penyelenggara intelijen negara.
                Terkait isu pengekangan demokrasi dengan disahkannya RUU Intelijen, saya rasa realisasi UU tersebut dapat dikontrol dengan mempertimbangkan khususnya pasal 28 UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia terkait asas Lex Superior Derogat Legi Inferior. Lebih lanjut lagi UU Intelijen juga harus mempertimbangkan produk hukum dengan kedudukan sejajar seperti UU ITE, UU HAM, dan sebagainya. UU ini juga bisa diajukan judicial review ke MK. Hanya saja menurut saya bukan terbatas UU dan perdebatan panjang ini yang diutamakan, namun juga semangat nasionalisme dan moral dari lembaga yang menjalankan roda pemerintahan negeri ini. Bahkan peraturan hukum yang buruk sekalipun bisa menghasilkan kondisi bangsa-negara yang baik apabila masyarakat, infrastruktur, pemerintah/aparat penegak hukum dan budaya hukumnya berkualitas.

Yusuf Aditya Wibowo
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM
Angkatan 2009