Rabu, 19 Oktober 2011

UU Intelijen ala Indonesia


                Buat saya pribadi, RUU Intelijen yang kabarnya sudah disahkan oleh DPR menjadi UU patut diapresiasi. Dari sudut pandang positif, langkah ini merupakan permulaan yang bagus untuk menjaga keutuhan NKRI dari politik global. Mungkin Indonesia ingin meniru lembaga intelijen negara-negara maju dengan tingkat pertahanan keamanan tinggi seperti CIA (Amerika Serikat), lembaga intelijen asing tersebut bergerak lintas negara demi menjaga/melaksanakan kepentingan negaranya. Saya tidak apatis namun rasionalis, selalu mendukung kebijakan pemerintah yang “benar-benar” dialokasikan untuk kepentingan bangsa.
                Hanya saja ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran saya. Pertama, garis besar pengaturan UU Intelijen mengatur Badan Intelijen Negara, kenapa tidak memakai nama UU BIN? Sebab intelijen di Indonesia tidak sebatas BIN saja, melainkan ada intelijen dari Polri, militer dan lainnya.Walaupun disebutkan pada Pasal 4 ayat (2) bahwa ada badan intelijen departemental bukankah seharusnya pengaturannya dipisahkan untuk menghindari kerancuan mengingat produk ini berupa undang-undang. Kesalahan konsep ataukah ada muatan politis dari rancangan/draft akademik UU ini?
                Kedua, masih berkaitan dengan yang pertama, kinerja BIN bisa dibilang sangat tertutup. Dengan memberikan kewenangan yang dikuatkan dengan UU bukankah memberikan peluang khususnya bagi penguasa (pemerintah) sesuai Pasal 5 ayat (2) bahwa BIN kedudukannya berada di bawah dan bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. Apalagi melihat pasal-pasalnya yang saya kira masih bisa dimultitafsir. Hal ini sangat rawan sekali apabila dikaitkan dengan kepentingan eksekutif. Semoga dapat diimbangi dengan fungsi pengawasan DPR dimana di UU ini dituangkan pada Pasal 38 untuk dapat melakukan kontrol terhadap penyelenggara intelijen negara.
                Terkait isu pengekangan demokrasi dengan disahkannya RUU Intelijen, saya rasa realisasi UU tersebut dapat dikontrol dengan mempertimbangkan khususnya pasal 28 UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia terkait asas Lex Superior Derogat Legi Inferior. Lebih lanjut lagi UU Intelijen juga harus mempertimbangkan produk hukum dengan kedudukan sejajar seperti UU ITE, UU HAM, dan sebagainya. UU ini juga bisa diajukan judicial review ke MK. Hanya saja menurut saya bukan terbatas UU dan perdebatan panjang ini yang diutamakan, namun juga semangat nasionalisme dan moral dari lembaga yang menjalankan roda pemerintahan negeri ini. Bahkan peraturan hukum yang buruk sekalipun bisa menghasilkan kondisi bangsa-negara yang baik apabila masyarakat, infrastruktur, pemerintah/aparat penegak hukum dan budaya hukumnya berkualitas.

Yusuf Aditya Wibowo
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM
Angkatan 2009
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar